Saturday, September 1, 2012

SATU CINTA UNTUK ARIS



“Seperti mengisyaratkan  “KEASINGAN DIRIKU BAGINYA”, Aris menatapku kosong, lama,  dan kemudian dia tersenyum.”

Hari itu, aku duduk disamping ranjang Aris, bocah 12 tahun (penderita Hidrosefalus) yang hampir seluruh hidupnya dihabiskan dengan berbaring ditempat tidur, tubuhnya yang kecil tampak bengkok-bengkok karena pertumbuhan badannya yang tidak sempurna dan tulang-tulangnya hanya berbalut kulit, tampak kepalanya yang besar membuat Aris tidak bisa bergerak, wajahnya tidak biasa, aroma tubuhnyapun tidak biasa, dan entah karena tidak pernah diajarkan atau karena sakitnya, Aris tidak punya kemampuan berbicara, iya hanya bisa menangis dan kadang tertawa kecil.

Aah… TUHAN aku kehabisan kata-kata. Ada banyak hal yang mengisi pikiranku ketika pertama kali berjumpa dengan sitampan ARIS. Diantara semua pikiran yang meloncat-loncat dalam batinku, yang paling dominan adalah perasaan “DIMANAKAH TUHAN SAAT INI? ADAKAH DIA bersama ARIS?.”  Ingin sekali rasanya menangis, melihat seorang anak manusia terkujur lemah tak berdaya, tak punya hasrat, tak punya ambisi, tak sepenuhnya hidup pun tak mati.  Aris yang sejak berumur 7 bulan sudah harus menanggung semua derita ini, Aris yang tidak pernah meminta untuk dilahirkan seperti ini. Namun, dibalik semua ketidaksempurnaan yang dimilikinya, Aris masih menyisakan senyumannya untukku. Entah dia bergembira karena masih ada yang peduli pada keadaannya ataukah karena tatapanku padanya yang mengisyaratkan kekaguman.


Lalu aku melihat ibunya, memandangi raut wajahnya yang tidak sempurna. Terlihat guratan kekawatiran dan rasa lelah yang menahun disana. Ia menyuapi Aris pelan-pelan, melap mulutnya ketika Aris tersedak, menciumi Aris, menepuk2nya kecil dan kembali sibuk menyiapkan susu. Aku memperhatikan perempuan ini dengan kagum, perempuan yang bekerja 24 jam sehari tanpa digaji selembar rupiahpun, perempuan yang rela dibayar hanya dengan senyuman anaknya yang terlihat kenyang. Melihat ini aku teringat lagi ketika awal aku lahir. Ketika aku kecil, rapuh, dan masih berada dalam duniaku sendiri. Aku 23 thn yang lalu, aku yang tidak mengerti apa-apa, tidak berdaya dan hanya bergantung pada belas kasihan orang lain. Untunglah ada ibu, ibu yang mau repot-repot bangun tengah malam ketika aku menangis, yang mau bersusah-susah mencuci betumpuk2 pakaianku, yang sampai lupa mengenakan make up atau memilih pakaian terbaiknya sebelum bepergian hanya karena sibuk mengurusku yang tak berdaya. Ibu yang tidak peduli wajahnya tidak menarik lagi dimata suaminya, asal aku tidak kekurangan suatu apapun. Ibu. Ibuku. Ya, Aku merindukan ibuku hari itu.

Dan diam-diam aku jatuh hati pada sosok IBU ini. Ibu yang sudah bertahun-tahun ditinggal mati suaminya, ibu yang rela tidak makan asal anaknya bisa makan, ibu yang berjuang untuk bertahan hidup demi anak yang dikasihinya. Dari dirinya aku belajar bahwa ternyata menjadi ibu itu tidaklah mudah. Itu adalah proses. Proses yang panjang dan kadang penuh air mata. Proses belajar yang tidak pernah berhenti. Menjadi ibu adalah full time job

Dan beruntunglah kita karena TUHAN menciptakan makhluk yang bernama, IBU.


Aris kecil dan ibunya mengajarkanku tentang arti bersyukur. Miris. Aku baru bisa benar-benar merasa bersyukur ketika melihat ada yang lebih menderita dari diriku. Kesal. Kenapa baru sekarang aku menyadari betapa aku kurang bersyukur akan semua hal yang aku punya. Haru. Melihat kasih sayang seorang ibu, yang dibalik tubuhnya yang kurus lemah dan tidak sempurna, ada jiwa yang kuat, besar dan penuh kasih kepada anaknya ini. Aaahh TUHAN, kenapa KAU begitu sulit ditebak?.

Tapi, dibalik semua yang terjadi dalam hidup ARIS dan ibunya,  aku yakin TUHAN tidak melupakan mereka. Aku yakin selain menitipkan Aris, Tuhan juga menitipkan kekuatan yang 2x lipat untuk sang ibu.

Hari itu, aku belajar melihat hal yang baik, diantara yang buruk.

Aku tidak lagi mempertanyakan keberadaan TUHAN untuk Aris. Aku yakin TUHAN sayang ARIS, TUHAN tahu Aris spesial, TUHAN menjadikan Aris perantara kasih, TUHAN membuat aku, kamu, kita,  belajar bersyukur lewat ARIS. Aris bagiku sempurna. Ada TUHAN dalam Aris. Aris membuatku merasa tidak pantas. Tidak pantas mengeluh. Tidak pantas merasa tidak cukup atas semua berkat yang sudah TUHAN beri. Tidak pantas mengutuk diri kita yang sering kita anggap tidak cukup sempurna.

Lihatlah kedalam cermin, kau punya dua kaki, dua tangan, dan kau punya wajah serta anggota tubuh yang sempurna. Tersenyumlah. Bersyukurlah. TUHAN memberi semuanya itu dengan Cuma-Cuma. Maka hargailah dirimu, terimalah dirimu dengan segala kekurangan dan kelebihanmu. Dan ketika kamu merasa tidak puas dengan hidupmu. Lihatlah Aris, tengoklah senyumnya dan tanyakan pada hatimu:

“Pantaskah Kamu mengeluh, ketika seseorang seperti ARIS memimpikan hidup sepertimu”



Terima dirimu, yang diciptakan Tuhanmu.
Dengan dua kaki dan dua tangan, atau mungkin kurang.
Terima dirimu, dengan ibu dan ayah yang tidak bisa kau pilih.
Karena mereka pun tidak bisa menentukan sendiri keturunannya.
Terima dirimu dengan kulit coklatmu dan rambut hitammu.
Karena Tuhan tau, jodohmu menyukai warna itu.
Terima dirimu dengan bakatmu, atau mungkin kemauan kerasmu.
Karena apalah artinya bakat tanpa kemauan keras untuk berusaha.
Terima dirimu dengan vaginamu dan penismu.
Karena alat reproduksimu adalah identitasmu, yang membuatmu menjadi dirimu hari ini.

Terima dirimu.
Maka orang lain akan menerimamu.

*jika kamu percaya Tuhan
(CP: M. Anastasia)


NB:
Untuk siapa saja yang ingin membantu Aris dan sang ibu bisa menyalurkan bantuan anda ke sini:
 Bank BNI: 0218348067 (a/n Agnes Shanti Satyarini)
atau dapat menghubungi:
CP: Shanti (085743815889)
        Glorya (081807003607)
(bagikan satu saja cintamu untuk ARIS)