“Seperti mengisyaratkan “KEASINGAN DIRIKU BAGINYA”, Aris menatapku
kosong, lama, dan kemudian dia tersenyum.”
Hari itu, aku duduk disamping
ranjang Aris, bocah 12 tahun (penderita
Hidrosefalus) yang hampir seluruh hidupnya dihabiskan dengan
berbaring ditempat tidur, tubuhnya yang kecil tampak bengkok-bengkok karena
pertumbuhan badannya yang tidak sempurna dan tulang-tulangnya hanya berbalut
kulit, tampak kepalanya yang besar membuat Aris tidak bisa bergerak, wajahnya
tidak biasa, aroma tubuhnyapun tidak biasa, dan entah karena tidak pernah
diajarkan atau karena sakitnya, Aris tidak punya kemampuan berbicara, iya hanya
bisa menangis dan kadang tertawa kecil.
Aah… TUHAN aku kehabisan
kata-kata. Ada banyak hal yang mengisi pikiranku ketika pertama kali berjumpa
dengan sitampan ARIS. Diantara semua pikiran yang meloncat-loncat dalam batinku,
yang paling dominan adalah perasaan “DIMANAKAH TUHAN SAAT INI? ADAKAH DIA
bersama ARIS?.” Ingin sekali rasanya
menangis, melihat seorang anak manusia terkujur lemah tak berdaya, tak punya
hasrat, tak punya ambisi, tak sepenuhnya hidup pun tak mati. Aris yang sejak berumur 7 bulan sudah harus
menanggung semua derita ini, Aris yang tidak pernah meminta untuk dilahirkan
seperti ini. Namun, dibalik semua ketidaksempurnaan yang dimilikinya, Aris masih
menyisakan senyumannya untukku. Entah dia bergembira karena masih ada yang
peduli pada keadaannya ataukah karena tatapanku padanya yang mengisyaratkan
kekaguman.
Lalu aku melihat ibunya,
memandangi raut wajahnya yang tidak sempurna. Terlihat guratan kekawatiran dan
rasa lelah yang menahun disana. Ia menyuapi Aris pelan-pelan, melap mulutnya
ketika Aris tersedak, menciumi Aris, menepuk2nya kecil dan kembali sibuk
menyiapkan susu. Aku memperhatikan perempuan ini dengan kagum, perempuan yang bekerja 24 jam
sehari tanpa digaji selembar rupiahpun, perempuan yang rela dibayar hanya
dengan senyuman anaknya yang terlihat kenyang. Melihat ini aku teringat lagi
ketika awal aku lahir. Ketika aku kecil, rapuh, dan masih berada dalam duniaku
sendiri. Aku 23 thn yang lalu, aku yang tidak mengerti apa-apa, tidak berdaya
dan hanya bergantung pada belas kasihan orang lain. Untunglah ada ibu, ibu yang
mau repot-repot bangun tengah malam ketika aku menangis, yang mau bersusah-susah
mencuci betumpuk2 pakaianku, yang sampai lupa mengenakan make up atau memilih
pakaian terbaiknya sebelum bepergian hanya karena sibuk mengurusku yang tak
berdaya. Ibu yang tidak peduli wajahnya tidak menarik lagi dimata suaminya,
asal aku tidak kekurangan suatu apapun. Ibu. Ibuku. Ya, Aku merindukan ibuku
hari itu.
Dan diam-diam aku jatuh hati pada
sosok IBU ini. Ibu yang sudah bertahun-tahun ditinggal mati suaminya,
ibu yang rela tidak makan asal anaknya bisa makan, ibu yang
berjuang untuk bertahan hidup demi anak yang dikasihinya. Dari dirinya aku
belajar bahwa ternyata menjadi ibu itu tidaklah mudah. Itu adalah proses.
Proses yang panjang dan kadang penuh air mata. Proses belajar yang tidak pernah
berhenti. Menjadi ibu adalah full time job.
Dan beruntunglah kita karena
TUHAN menciptakan makhluk yang bernama, IBU.
Aris kecil dan ibunya mengajarkanku
tentang arti bersyukur. Miris. Aku baru bisa benar-benar merasa bersyukur
ketika melihat ada yang lebih menderita dari diriku. Kesal. Kenapa baru
sekarang aku menyadari betapa aku kurang bersyukur akan semua hal yang aku
punya. Haru. Melihat kasih sayang seorang ibu, yang dibalik tubuhnya yang kurus
lemah dan tidak sempurna, ada jiwa yang kuat, besar dan penuh kasih kepada
anaknya ini. Aaahh TUHAN, kenapa KAU begitu sulit ditebak?.
Tapi, dibalik semua yang
terjadi dalam hidup ARIS dan ibunya, aku
yakin TUHAN tidak melupakan mereka. Aku yakin selain menitipkan Aris, Tuhan
juga menitipkan kekuatan yang 2x lipat untuk sang ibu.
Hari itu, aku belajar melihat hal
yang baik, diantara yang buruk.
Aku tidak lagi mempertanyakan
keberadaan TUHAN untuk Aris. Aku yakin TUHAN sayang ARIS, TUHAN tahu Aris spesial,
TUHAN menjadikan Aris perantara kasih, TUHAN membuat aku, kamu, kita, belajar bersyukur lewat ARIS. Aris bagiku
sempurna. Ada TUHAN dalam Aris. Aris membuatku merasa tidak pantas. Tidak pantas
mengeluh. Tidak pantas merasa tidak cukup atas semua berkat yang sudah TUHAN
beri. Tidak pantas mengutuk diri kita yang sering kita anggap tidak cukup
sempurna.
Lihatlah kedalam cermin, kau
punya dua kaki, dua tangan, dan kau punya wajah serta anggota tubuh yang
sempurna. Tersenyumlah. Bersyukurlah. TUHAN memberi semuanya itu dengan Cuma-Cuma.
Maka hargailah dirimu, terimalah dirimu dengan segala kekurangan dan
kelebihanmu. Dan ketika kamu merasa tidak puas dengan hidupmu. Lihatlah Aris,
tengoklah senyumnya dan tanyakan pada hatimu:
“Pantaskah Kamu mengeluh, ketika
seseorang seperti ARIS memimpikan hidup sepertimu”
Terima dirimu, yang diciptakan
Tuhanmu.
Dengan dua kaki dan dua tangan,
atau mungkin kurang.
Terima dirimu, dengan ibu dan
ayah yang tidak bisa kau pilih.
Karena mereka pun tidak bisa
menentukan sendiri keturunannya.
Terima dirimu dengan kulit
coklatmu dan rambut hitammu.
Karena Tuhan tau, jodohmu
menyukai warna itu.
Terima dirimu dengan bakatmu,
atau mungkin kemauan kerasmu.
Karena apalah artinya bakat tanpa
kemauan keras untuk berusaha.
Terima dirimu dengan vaginamu dan
penismu.
Karena alat reproduksimu adalah
identitasmu, yang membuatmu menjadi dirimu hari ini.
Terima dirimu.
Maka orang lain akan menerimamu.
*jika kamu percaya Tuhan
(CP: M. Anastasia)
NB:
Untuk siapa saja yang ingin membantu Aris dan sang ibu bisa menyalurkan bantuan anda ke sini:
Bank BNI: 0218348067 (a/n Agnes Shanti Satyarini)
atau dapat menghubungi:
CP: Shanti (085743815889)
Glorya (081807003607)
(bagikan satu saja cintamu untuk ARIS)